“Misteri Sosial Dibalik Situs Cepuri: Tanah Sultan VS Tanah Rakyat”






Situs cepuri merupakan area sakral bagi pelaksanaan Upacara Malam 1 Syuro, situs tersebut merupakan tempat pertemuan antara Sultan Yogyakarta dengan penguasa pantai selatan yakni Nyi Roro Kidul yang berlokasi di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Bantul, Yogyakarta. Pada pelaksanaan Upacara Malam 1 Syuro dihadiri berbagai macam kalangan masyarakat, mulai dari abdi dalem keraton Yogyakarta hingga masyarakat lokal dan wisatawan. Situs tersebut menjadi simbol persatuan antara dua alam melalui pertemuan para pemimpin yang andil dalam mengayomi dan kelancaran rejeki masyarakat lokal. Situs yang menjadi icon kesakralan tersebut menyimpan misteri sosial yang mengarah pada konflik akan kepemilikan pemukiman. Konflik yang menyelinap dalam kesakralan situs tersebut menjadi perdebatan yang tak kunjung reda. Kemelut kepemilikan tanah yang berada pada pemukiman warga sudah tidak asing lagi untuk didengar dalam bahasan masyarakat Desa Parangtritis.























Situs Cepuri sebagai lambang kesakralan masyarakat Desa Parangtritis/ Dewi Ariyanti Soffi
 

Konflik tersebut memang tak terlihat secara nyata, namun setelah ditelisik lebih mendalam ternyata pada dahulunya terdapat suatu perjanjian tidak tertulis mengenai hak tanah yang digunakan untuk pemukiman warga, sehingga konflik ini mencuat pada waktu tertentu saat ada peristiwa yang kembali memicu memanasnya konflik tersebut. Tanah tersebut merupakan kepemilikan keluarga “Kasultanan Yogyakarta” yang difasilitaskan kepada warga yang bermukim di Desa Parangtritis. Menurut penjelasan salah satu warga, tanah tersebut bisa ditarik sewaktu-waktu saat urgensi tanah tersebut dibutuhkan. Perjanjian akan kepemilikan tanah pada dasarnya telah dibuat diawal namun tidak semua warga paham akan poin-poin perjanjian tersebut. Sehingga mayoritas warga memilih untuk menghargai keputusan keluarga kasultanan dan patuh akan perjanjian tersebut. Para warga mempercayai jika terjadi penggusuran pasti akan diganti dengan nilai yang setara dengan harga materi yang digusur, mereka akan menempuh jalur musyawarah untuk mengatasi hal tersebut. “Selama ini ayem-ayem aja mbak, beritanya juga masih simpang siur. Kemarin ada sih penggusuran kios di bibir pantai sama mantunya sultan tapi udah diganti kok mbak sama di daerah atas” ujar salah satu penduduk RT.03, Desa Parangtritis tersebut.  Namun hal yang berbeda diungkapkan oleh salah satu warga yang berprofesi sebagai tukang cilok keliling “kalau digusur sewaktu-waktu ya saya akan demo ke sultan, soalnya kan ini tanah nenek moyang sudah lama kita menetap disini jadi tidak bisa seenaknya”.


Salah satu warung tradisional yang berada di area pemukiman warga/ Dewi Ariyanti Soffi


Isu mengenai kepemilikan tanah ini memang simpang siur sehingga diperlukan sebuah klarifikasi diantara dua pihak, Ketua RT 03 Desa Parangtritis memberikan sebuah penjelasan mengenai konflik tersebut, tanah di area Situs Cepuri dan Pantai Parangkusumo dibagi menjadi 3 golongan, yakni tanah hak milik (kepemilikan pribadi), Sultan Ground (kepemilikan keluarga Keraton Yogyakarta), tanah negara dan tanah tutupan bekas penjajahan Belanda, sehingga menurut penjelasan ketua RT tersebut keluarga keraton memiliki hak untuk memakai tanah tersebut. Menurut (Hasim, 2016) Sultan Grond, yaitu tanah yang dikuasai oleh Keraton Kasultanan dan pemanfatannya oleh masyarakat ataupun pihak Kasultanan sendiri yang memiliki fungsi sebagai perlindungan sosial bagi kelompok-kelompok marginal. “Gusti Notonegoro selaku menantu Sultan Hamengkubuwono X tidak akan menarik tanah tersebut asalkan tidak dijual belikan mbak, kan warga sini banyak yang jadi abdi dalem sehingga beritanya akurat dari orang yang bersangkutan” ujar pria berusia 40 tahun tersebut.
Luas tanah sultan ground  berdasarkan penelitian (Hasim, 2016)  yang berjudul Politik Hukum Pengaturan Sultan Ground Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 Tentang Keistimewaan Yogyakarta Dan Hukum Tanah Nasional

Pasalnya para warga masih menunggu kebijakan baru terkait  siapa yang akan memimpin DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) kedepannya, mengingat keturunan Sultan saat ini adalah perempuan, sehingga masih menjadi sebuah tanda tanya bagi masyarakat. “Langkah yang akan ditempuh warga saat ini adalah menyadari bahwa tanah tersebut bukan miliknya, ia percaya bahwa setiap masalah pasti ada solusinya, sehingga relokasi atau penggantian dana pasti akan terealisasi” tutur Pak Suharno selaku perwakilan dari masyarakat RT.03. Sehingga konsep “Neriman Ing Pandum” yakni menerima ketetapan tuhan tercermin dalam sikap masyarakat saat menghadapi konflik tanah dengan pihak kasultanan, ciri khas dari sikap masyarakat jawa tersebut menjadi sebuah prinsip atau acuan dalam menghadapi sebuah permasalahan. Oleh karena itu konflik ini tidak terlalu dipublikasi akibat masyarakat yang memilih untuk adem ayem selama tidak ada tindakan yang mengancam pemukiman atau rumah mereka masing-masing.

 Menurut (Hasim, 2016)  Pasal 32 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta menegaskan bahwa Kasultanan merupakan badan hukum, yang mempunyai hak milik secara mutlak dari Sultan Ground, meski kenyataannya ketika pemerintah membutuhkan tanah yang statusnya adalah Sultan Ground maka pemerintah meminta ijin secara langsung kepada pihak kesultanan tanpa harus memberi ganti rugi, sehingga kasultanan di analogikan seperti pemerintah/negara. Oleh karena itu peluang keluarga kasultanan menggunakan tanah tersebut secara sewaktu-waktu sangat memungkinkan mengingat wewenang hak milik tanah sepenuhnya ada di tangan mereka, sehingga konflik yang ditimbulkan berupa konflik agraria hingga pembangunan yang berujung pada penggusuran rumah warga sewaktu-waktu.

Sedangkan masyarakat yang menempati tanah negara dan tanah tutupan bekas jajahan Belanda terlihat aman-aman saja, hal ini dikarenakan telah sesuai dengan berlakunya peraturan mengenai hak pengelolaan. Pada dasarnya ada 5 jenis hak milik yang identik dengan kepemilikian tanah seperti yang dikemukakan oleh (Omar, Wardaya dan Djojomartono, 2009), antara lain: 1.Hak Milik – kepemilikan yang memiliki hak eksklusif atas tanah tersebut, 2.Hak Guna Usaha - hak untuk mengolah tanah tersebut, 3. Hak Guna Bangunan (HGB) - hak untuk mendirikan bangunan saja, 4.Hak Pakai - hak untuk menggunakan tanah, 5.Hak Pengelolaan - hak untuk mengelola tanah yang terkalit antara lain: penggunaan tanah, telah mengaburkan batas antara administrasi pertanahan dan pengelolaan lahan dengan durasi 30 tahun. Sehingga permasalahan ini termasuk pada poin nomor 5 dimana masyarakat telah menempati wilayah tersebut sejak lahir atau lebih dari 30 tahun akibat hak kelola yang telah diberikan namun tidak ada tindakan yang pasti dari pihak kasultanan sehingga masyarakat memilih untuk menetap dan tak terlalu merisaukan masalah tersebut, karena menganggap tanah tersebut merupakan milik nenek moyang mereka.

Masyarakat desa parangtritis yang berdekatan dengan wisata pantai parangtritis pun terlihat beraktivitas seperti biasanya, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Aktivitas masyarakat pun berjalan lancar, sunset yang terlihat di ufuk barat mulai menyapa seiring dengan riangnya anak-anak bermain sepak bola ditengah lapangan sebelum pintu masuk Situs Cepuri. Tak ada yang menyangka perihal konflik dingin ini, bahkan sebagian masyarakat memilih untuk bungkam dan tak ingin tahu mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam kepemilikan rumah mereka, hal tersebut dikarenakan cakupan kompleks pemukiman masyarakat yang terlibat dalam konflik tersebut tidak merata, sehingga masyarakat memilih untuk berterimakasih kepada keluarga kasultanan yang meminjamkan tanah mereka untuk pemukiman warga. Jika sewaktu-waktu masalah ini kembali mencuat ke ranah publik, masyarakat akan lebih memilih jalur mediasi dengan metode musyawarah kekeluargaan, hal itu disebabkan masyarakat Desa Parangtritis sangat menghindari jalur penyelesaian konflik secara represi atau kekerasan, hal itu dipilih berdasarkan wewenang penuh sehingga relasi patron-klien sangat terlihat, dimana keluarga kasultanan sebagai patron dengan kedudukan yang lebih tinggi dan masyarakat sebagai klien yang menawarkan dukungan atau bantuan kepada keluarga kasultanan yang tidak hanya berupa bantuan material, seperti perekrutan Abdi Dalem yang didasarkan pada kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat lokal atas kehendak dan persetujuan pemimpin lokal seperti ketua RT atau Kepala Desa. Kelembutan hati dan rasa legowo masyarakat menjadi sebuah prinsip yang patut dicontoh agar tak membuat kemelut semakin sulut persis seperti suasana sunset sore itu.

Daftar Pustaka
Hasim, R. A. (2016). Politik Hukum Pengaturan Sultan Ground Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 Tentang Keistimewaan Yogyakarta Dan Hukum Tanah Nasional. Arena Hukum Volume 9, Nomor 2 , 207-224.
Omar,I. Wardana, D. & Djojomartono P.N. (2009). The Explanatory Power Of Institutional Economics Analysis in The Reconstruction Of Cultural Heritage Of Kotagede Yogyakarta, Indonesia's Post Earthquake. Anthropology Disaster , 80-82.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Hubungan Kalian Terasa Monoton? Yukk Simak Tips Berikut Ini Agar Relationship Kalian Lebih Visioner”

“Dialektika Ambisi”

“Review Jesscool Penyegar Panas Dalam”